Masyarakat Sumatera Utara dianggap memiliki karakter komunikasi yang keras dan kasar dibandingkan dengan masyarakat di luar Sumatera Utara, seperti di pulau Jawa. Namun, destinasi wisata yang indah di Sumatera Utara, seperti Istana Maimun, Danau Toba, Bukit Lawang, dan sebagainya, menarik minat wisatawan. Oleh karena itu, penelitian ini telah mengkaji kesantunan berbahasa pemandu wisata lokal sebagai upaya mendukung pariwisata di Sumatera Utara. Penelitian ini telah menganalisis kesantunan berbahasa pada tuturan pemandu wisata lokal di Sumatera Utara dengan tujuan untuk mengetahui bentuk, prinsip, dan dampak dari kesantunan berbahasa pemandu wisata terhadap wisatawan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-deskriptif dengan menggunakan konsep sosiopragmatik dalam menganalisis data. Data penelitian ini terdiri dari tuturan pemandu wisata yang diperoleh dari beberapa tempat wisata ikonis di Sumatera Utara, seperti Istana Maimun, Danau Toba, Bukit Lawang, dan Tangkahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai bentuk penanda kesantunan berbahasa yang digunakan oleh pemandu wisata di Sumatera Utara, antara lain: 1) penanda kesantunan menyapa dan memberikan salam, 2) penanda kesantunan menawarkan bantuan, 3) penanda kesantunan persetujuan, 4) penanda kesantunan meminta, 5) penanda kesantunan memerintah, 6) penanda kesantunan menolak, 7) penanda kesantunan meminta maaf, 8) penanda kesantunan untuk memberikan saran, dan 9) penanda kesantunan untuk memberi pujian.